Senin, 04 April 2011

Basa-basi


07 januari 2011
Entahlah harus kumulai dari mana tulisan ini, yang jelas ada gelisah dalam rasa yang aku juga tak tahu kenapa. Aku merasa ada yang hilang, tapi sulit kulihat, semakin kuburu semakin tak ada jejak. Barang kali telah terbang tinggi mengejar awan dan aku hanya bisa bertanya-tanya dalam kata yang bersuara. Entah, aku juga tak tahu sudah keberapa kalinya hal ini terjadi.

Sebenarnya aku ingin mengejar tanyaku walau hanya dalam mimpi, sekedar untuk meredakan api yang menyala kala risalahku tertulis dalam skala gelombang. Ahir-ahir ini hanya gelisah temukanku dalam telungkup hidup di pekarangan jiwa. Dan aku benar-benar tidak dapat melanjutkan tulisan ini.

Beberapa fileku hilang. entah kemana! Mungkin takdir sengaja membuatku mengeluh sampai usai carita tentang lentera yang hiaskan cahaya. Ya… cahaya, aku hanya dapat mendengarnya.

09 Januari 2011
Pagi  ini sulit kuduga apa gerangan yang kan menghantuiku, kini kau telah tiada katanya mau pergi ke kota bertingkat. Mencari runtuhan debu yang terlintas dalam sajak-sajakku, hingga ahir waktuku kau habiskan dalam keseharian. Lalu bagaimana aku dapat melihat masa depan jika yang terjadi adalah seperti ini.
Hari esok pun tak dapat kulihat, bayangannya memenuhi relung-relung hariku sampai kapan aku menanti agar bisa menyilami dasar laut yang biru. Laut itu masih berselimut malam menunggu senja menghapus setiap detak jantungnya yang gunda.
Seakan-akan aku tiada dalam ruangan ini. Terbang tinggi bersemayam bersama bintang melihat masa-masa lalu yang buram.  Jangan salahkan aku. Cinta itu memang warisan dari ayah dan ibuku.  Sulit rasanya untuk memendamnya, sebentar lagi apinya mengombar sampai kakimu terbakar.

11 Januari 2011
Ada satu hal yang aku lupa, malam itu berjalan tanpa sebatang pohon yang menghalanginya, padahal untuk mengembalikannya adalah sama halnya dengan yang ingin menjilati lidahnya yang terlanjur jatuh. Aku hanya bisa berharap pagi ini adalah awal untuk lebih baik.
Sebenarnya masih ada rasa yang tertinggal, sebab sangat jelas kulihat dari kejahuan. Bintang itu sepertinya kelihatan buram bahka tak kutemukan cercahan sinarnya yang dulu, yang memancarkan risalah nabi pada tiap-tiap radiasi bumi. Kata seorang tua kepadaku.

18 Januarai 2011
Lama sudah kumenjauh darimu, meninggalkan sedih yang akut terekam dalam memory hidupku.

Selasa, 22 Februari 2011

Luka dalam Rasa (Buatmu Sayang)

Di saat matahari senang menyinari penjuru bumi, hingga hawanya terasa begitu panas pada tubuh makhluk tuhan yang Esa. Aku mencoba  keluar untuk merasakan deru angin, barangkali ada yang pengertian pada tubuh yang butuh penyegar ini. Namun seketika betapa kurasa matahari tak ada di hidupku, tapi aneh hawa panasnya selalu membuntuti langkah dan gerik tubuh yang lunglai tak bergairah. Semua ini bukan karena tuhan yang menjatuhkan adzabnya pada hari pembalasan. Tak lain karena telah ku dengar suara lembut yang mengandung racun dari seberang sana. Ya! Suara yang membuatku seakan tak berpijak di hamparan bumi-Mu tuhan.

“Ran kamu ga’ usah bersamaku lagi!” sungguh aku tak percaya suara lembut Azizah, suara itu melahirkan luka yang perih dalam sanubari. Aku mencoba meronta akan kata-katanya walau sebenarnya aku telah kehilangan kata untuk membantah. Tapi tetap saja kuberanikan merangkai kata sedemikian rupa, mungkin saja itu tak benar. Sebab selama ini tak pernah ada yang salah dari tingkah atau pun kataku. Sungguh aku risau dibuatnya. Siapa pun itu tak kan pernah berharap mendengar ungkapan pedih pada dirinya, apalagi ungkapan itu keluar dari mulut yang kita anggap bidadari.

“Emang pernah berbuat salah ya, sama kamu”  Tanyaku datar tak percaya akan semua ini. Namun  saat itu hati kecilku hanya bisa pasrah, menerima keputusannnya jika apa yang dikatakan adalah yang terbaik bagi hidupnya. Andai saja aku tidak menyadari kalau sebenarnya aku sama sekali tidak sebanding dengannya. Baik dari meterial atau pun nasab dan sebagainya. Mugkin aku tidak akan menyerah sampai disini sebab, ada sesuatu yang menjerit keras yang tak kutahu menahu dari mana. Sunnguh betapa keras suara itu kudengar walau tak seorang pun memperdulikan. Tapi yang pasti suara itu membuatku tertegun menahan sakit tiada tara, menghentikan aliran darah. Namun aku tidak dapat berbuat apa-apa, yang kutunggu hanyalah keputusannya yang tak mungkin dapat  kuhalangi.

“Tidak Ran, kamu tidak berbuat salah padaku” Jawabnya seakan-akan tak ada yang membebani. Walau aku tak dapat melihatnya, tapi kurasa setidaknya dia mencoba untuk tersenyum padaku yang menahan kesedihan. Aku semakin tidak mengerti dibuatnya. Mengapa tiba-tiba saja dia ingin mengahiri hubungan yang telah diperjuangkannya dulu. Hanya praduga yang terbesit dalam pikiranku. Benarkah  hal ini menjadi kebulatan hatinya. Aku tidak tahu.! Sedang hati mengajakku mencari kejelasan padanya

“Lalu kenapa kamu mengingikan aku pergi dari kehidupanmu Zah.. Jika kenyatannya aku sama sekali tidak bersalah? Atau mungkin kamu sudah mendapatkan seseorang yang menjadi impianmu selama ini?” Aku mencoba mengejarnya dengan kata-kataku. Hanya sekedar ingin tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Mungkin saja cintanya memang bukan untukku. Aku semakin tak sabar ingin tahu jawabannya.

“Maaf ya Ran... bukan karena aku punya cowok lain atau apalah. Tapi yang jelas lebih baik kita akhiri hubungan ini. Aku tak ingin, belajarku terganggu hanya gara-gara aku punya hubungan sama kamu, aku igin konsen pada pelajaran dulu dan aku minta agar hubungan pertemananmu dengan cewek-cewek yang  lain diperbaiki. Sebab aku tak ingin dinomer satukan” Terlihat dari nada bicaranya, sedikit emosinya terpancing oleh kata-kataku tadi.

“Kalau begitu aku minta maaf ya Zah. sebab selama ini aku hanya membuatmu terganggu dan buat resah hidupmu. Sungguh aku tak bermaksud begitu, dan terahir terima kasih karena telah menemani hidupku walau sekarang harus ada luka yang tersirat. Namun ini cukup bagiku sebagai pelajaran hidup untuk selalu tegar walau tuhan tak berpihak padaku. Sekali lagi terimaksih ya Zah! atas semua pemberianmu. Semua itu sangat berharga bagi hidupku. ” Tak ada pilihan lain kecuali aku harus menerima kenyatan pahit ini. Biarlah aku sendiri bersama kenangan yang dulu pernah tercipta untukku.

“Lagian aku memang sadar kalau aku sebenarnya tak ada apa-apanya dibandingkan kamu. Aku bersyukur pada tuhan dan bertemakasih kepadamu karena telah di izinkan hinggap dihatimu walau hanya sebentar ” Lanjutku setelah ku menarik nafas panjang, mengumpulkan kekuatan untuk menyimpan rasa pahit dan tetesan air dari kelopak mata agar tak sampai jatuh.

“Terus terang selama ini tidak memandang hal itu Ran... lagi pula Seharusnya bukan kamu yang mesti bilang terimakasih dan permintaan maaf itu, tapi aku...” Suaranya terdengar menggebu dari balik telepon. Sedikit berbau bunga, mungkin karena aku telah menyetujui permintaannya. Sambil sembunyi dibalik kata-katanya yang terucap indah didengar tapi pahit dirasa.

Hanya ada hampa yang tersisa setelah pembicaraan itu. Dia memanggilku dari balik telepon, tapi sengaja aku menghiraukannnya sebab, suaraku sudah sesak tak dapat bernapas menahan bendungan luka. Sampai ahiranya dia menutup teleponnya dangan memanggil salam yang hanya bisa kujawab dalam hati.

“Ran... kamu kemana? Ya udah Assalamualaikum”  klik. Telepon dari sebrang yang jauh disana telah dimatikan. Tepi kata-katanya belum juga hilang hanya semakin menambah rasa yang bersebrangan.

                                                  @   @    @



Setelah kejadian hari itu. Matahari yang disetiap pagi dan sore tersenyum indah dengan mega merahnya atau kadang tersipu malu karena ketahuan kalau dirinya hanya mampu mengintip dari balik pepohonan bambu. Sekarang justru berabalik arah, aku yang harus menahan malu karena sekian ribu harapan yang sebenarnya hanyalah semu. Aku sadari banyak harapan yang telah aku tulis di dedaunan bambu. Hampir setiap pagi sebelum matahari melihat banyanganku. Tanpa aku tahu kalau ahirnya durinya melukai jari-jemariku.

Sisa waktu yang berjalan terus ke barat dan datang lagi dari timur. Aku gunakan untuk merenung, memikirkan dan mengingat luapan kata yagn mengebalikanku pada bulan-bulan yang penuh bintang-gemingtang. Sampai ahirnya aku lupa jika ada waktu yang masih tersisa untuk kehidupanku. Walau selamanya hati yang luka akan menemaniku. Ya, selamanya tetap ada luka itu. Tapi setidaknya  matahari tidak berheti sedia kala. Sebab aku masih rindu sinarnya yang tersenyum malu padaku. Dan aku tak tahu apa arti semua itu?

Awalnya rasa ini hanya aku dan Kamu yang tahu. Dan aku memang sengaja menyimpannya bersama hari-hariku. Entah mengapa ternyata sekelilingku banyak nanyak tentang ini dan itu. Aku heran! Mungkinkah, aku telah bilang pada saudara-saudara sebumi ini. Padahal aku tak ingin seorang pun tersiksa karenaku. Aku takut mereka sepertimu jika ada aku, terbebani luka yang takkan sembuh.

“Apa yang kamu lakukan disini kawan?” Suara Acem menyadarkanku dari lamunan masa dulu

“Eh, kamu Cem sejak kapan datang?” Aku yang terkejut tanpa menhiraukan pertanyaan Acem malah balik nanyak.

“Ya ini aku Acem. Apa yang kamu lakukan disini, dari tadi aku lihat kamu termmenung sampai tak tahu kalau ada orang di sampingnya. Lagi ,patah hati ya? ” Ternyata Acem sudah dari tadi memperhatikan kegiatanku di bawah pohon bambu dekat rumahku ini. Benar saja dia tahu kalau aku sebenarnya sedang kehilangan orang yang menjadi permaisyuri dalamm lubuk hatiku selama ini.

Acem adalah teman dekatku sejak dari kelas 1 SMA sampai sekarang. Sehingga dia tahu betul apa yang sedang aku rasakan. Lebih-lebih masalah asmara sebab, perasaan kami masih satu arah menuju lorong waktu yang panjang. Sebenarnya aku tidak ingin menceritakan ini pada sahabatku ini, aku masih dihatui rasa hawatir, dia akan merasa terganggu dengan semua ceritaku nanti. Tapi sekalipun aku tidak menceritakan padanya dia akan tetap mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Sehingga kerjaanku hanyalah melamun semata. Tanpa ku tunda semua mengalir suara dari mulutku yang berat merangkai kata.

“Tak usah kau hiraukan itulah kawan, hidup ini takkan selamnya dibawah dan begitu pun sebaliknya. aku kamu takut kehilangan dia, tapi sudahlah kita mesih punya tuhan yang wajib kita jaga kesucian iman bagiNya” Nada bicara Acem rendah tidak biasanya dia seperti ini. Kata-katanya begitu bijak. Aku tahu dia mencoba menhiburku dan ingin membawa lari dari kenestapaan ini. Betapa sangat kurasakan kenestaan ini, ingin kuberpaling menhadapNya, menghilangkan luka yang mungkin tersirat dari lembaran hidupku.

“Aku tidak bisa Cem”  jawabku lirih tak bertenaga.

“Aku masih tidak bisa. Pikiranku berkecamuk, kadang ada luka yang tak bertepi, tapi kadang aku juga sadar bahwa hidupku akan mati ” Aku mengaduh pada Acem seperti anak kecil yang meminta permen sama bapaknya.

“Satidaknya kamu tidak selalu bergantung pada dia, kamu harus tahu tuhan lebih berhak menrima apa telah kamu lakukan pada dirinya” Kembali dia mengingatkanku tentang kewajibanku sebagai seorang hamba harus membagi kasih sayang yang aku miliki.

“Lihatlah senja itu mulai rengkuhkan sujud keperaduannya. Ayu kita pulang saatnya minta petunjuk tuhan” Dia mengajakku menyatikan diri dangan sang khaliq. Aku nurut saja tanpa kata. Aku rasa apa yang di katakan Acem ada benarnya. Tak seharusnya aku menjauhkan diri dari sang pencipta.

                                                @  @  @

Kedatangan Acem sedikit banyak telah mebutaku melupakan luka  yang menerobos dindng-dinding kamarku. Walau tak dapat kupungkiri dirinya masih tergiang membayang-bayangiku dalam setiap sujudku padaNya. Aku hanya tak habis pikir kenapa harus terjadi padaku. Dan sekarang dengan cara apa pun harus kulupakannya.

Aku yang sudah siuman dari luka. Ternyata  masih ada yang memberikan prihal optimistis dalam hidup untuk tetap menjalanihidup sebagaimana mestinya. Meraka adalah teman-teman seperjuanganku saat ini. Mungkin Acem telah bercerita banyak pada mereka tentang apa yang terjadi pada hidupku,

“Ran, kamu ndak usah hawatir. Aku dan teman-teman akan selalu ada untuk kamu. Kapan pun dimana pun kamu mau, sebab kami tak ingin ada hati yang terluka padamu ” Sapanya menyemangatkanku  yang tak lain adalah Lodi dan tema-temannya.

“Ya, terimaksih Lod. Aku janji akan selalu tegar menghadapi cobaan tuhan” Jawabku sambil tersennyum pada mereka yang sedang berdiri di sekelilingku.

Setelah kata itu aku hanya bisa bersuara dalam pelan. Oh tuhan aku hanyalah hamba sahayamu yang mungkin tak pantas memiliki dia. Tak banyak harap yang kusuguhkan padamu tuhan. Kecuali ikrar yang kami ikatkan di pohon rahmatMu takkan berbuah lagi . Sebab ter hapus saja rasa yang  tertimbun luka tempo hari lalu.

“Kuharap kau tidak datang kembali membawa luka yang tersirat dalam luka” Pekikku dalam hati. Aku merasa ada yang hilang. Namun kucoba untuk tenang.



                                                Sekian

                                                                                    November 10, 2010 M.

                                                                                    Kantor Redaksi Majalah Infitah

                                                                                                04:48